Sepintar Apapun Kamu, Ternyata Kamu Nggak Ada Apa-Apanya Tanpa…

Beberapa hari lalu, muncul tulisan di Facebook yang menurut Youthmanual, penting banget dibaca mahasiswa, terutama yang lagi berburu beasiswa ke luar negeri.

Penulisnya adalah Bapak Lukito Edi Nugroho, seorang pewawancara pelamar beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Di tulisan ini, Pak Lukito menjelaskan pandangannya tentang para pelamar beasiswa LPDP, and what’s wrong with them.

Wah, apa, tuh? Baca sendiri, deh.

Tulisan ini disadur dengan sedikit editan dari sini.

***

Selama tiga hari kemarin, saya kembali berkesempatan mewawancarai pelamar beasiswa LPDP di Jakarta. Ini kali yang kedua saya mewawancarai mereka, setelah di Kupang beberapa bulan yang lalu.

Ada perbedaan besar antara karakteristik pelamar di Jakarta dan Kupang. Exposure terhadap informasi, pengetahuan terhadap isu-isu kekinian, dan “mimpi” para pelamar di Jakarta rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pelamar di Kupang. Cara menilai diri dan menyampaikan keinginan juga berbeda, dan hal inilah yang ingin saya tulis kali ini.

Pelamar di Jakarta, dengan latar belakang perguruan-perguruan tinggi terkenal, punya “mimpi” yang tinggi. Ekspresi mereka kira-kira seperti ini: “Saya punya kemampuan akademik tinggi, saya layak untuk bersekolah di Eropa, Australia, atau Amerika, dan dengan bekal pendidikan itu, saya akan membangun Indonesia!”. Self-esteem mereka tinggi, dan dengan nilai tinggi tersebut, mereka juga memasang target yang tinggi.

Bagus. Anak-anak sekarang memang harus didorong untuk melompat setinggi mungkin (baca: sekolah ke luar negeri), lalu kembali [ke Indonesia] untuk memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sayangnya, saya melihat ada yang kurang.

Saya sulit menjelaskannya dengan singkat, tapi intinya, seperti ada gap antara self-esteem yang tinggi dengan apa yang kelak akan mereka kontribusikan. Tidak nyambung. Beberapa pelamar yang bisa bercerita tentang rencana studinya dengan lancar, malah sulit merangkai penjelasan yang logis tentang bagaimana mereka kelak dapat berkontribusi [kepada Indonesia].

Contoh, ada  pelamar yang ingin belajar tentang renewable energy (RE) dan kelak ingin berkontribusi membangun infrastruktur RE untuk melistriki Indonesia bagian timur. Ketika ditanya caranya bagaimana, dia bilang dia akan membuat perusahaan RE dan membangun pembangkit-pembangkit mikrohidro di sungai-sungai di pedalaman Papua dan Maluku, sehingga lalu bisa melistriki desa-desa.

Oh, come on, boys. Coba kalian turun ke bumi dan melihat realitas yang ada.

Self-esteem tinggi yang tidak diikuti dengan kontekstualisasi hanyalah aksesoris tak bermakna. Potensi yang dimiliki seseorang baru punya nilai dan makna ketika bisa membawa kebaikan bagi lingkungannya. Meski Anda pandai, tapi kalau tidak bisa bermanfaat, ya hanya cocok untuk jadi aksesoris pajangan saja.

Dan poin yang paling penting adalah: kontekstualisasi potensi hanya bisa dilakukan dengan kerendahan hati, atau sikap humble.

Kerendahan hati diperlukan untuk bisa melihat potret lingkungan sekitar dengan jernih dan mengidentifikasi apa yang diperlukan. Kerendahan hati akan menumbuhkan empati dan pemahaman terhadap lingkungan, dan dari sini baru bisa lahir solusi-solusi yang masuk akal, realistis, dan bisa diimplementasi. Tanpa kerendahan hati, yang ada hanyalah perspektif dari “sudut pandangku”. Dari fokus yang keliru, bagaimana bisa muncul solusi yang efektif?

Kepercayaan diri yang berlebihan juga tidak baik, karena itu bisa “membutakan” dan membuat tidak mampu menerima saran yang baik.

Dalam interview beasiswa LPDP, kadang pewawancara melihat bahwa keahlian yang ingin dipelajari pelamar sebenarnya tersedia di dalam negeri, tetapi pelamar ngotot untuk ingin bersekolah di luar negeri meskipun sudah diberi pengertian. Mau belajar manajemen teknologi tepat guna, kok, harus sampai ke Oxford, Inggris?

LPDP sebenarnya oke-oke saja menerima kengototan sang pelamar, jika memang ada argumentasi yang solid untuk kengototan itu. Tetapi kalau ngototnya semata didasari oleh anggapan “saya layak sekolah di luar negeri” atau “dengan sekolah di luar negeri, saya akan mendapatkan wawasan baru”, itu yang tidak bisa diterima. Ingat, ya, Mas dan Mbak, beasiswa LPDP itu berasal dari duit rakyat.

Jadi bagi para generasi muda yang akan melamar beasiswa, rendahkan hati Anda. Lihatlah problem-problem di sekitar Anda, refleksikan ke dalam diri dan bertanyalah, apa yang bisa Anda lakukan.

Selanjutnya, buatlah rencana yang logis dan realistis untuk mengimplementasikan rencana kalian sepulang kuliah dari luar negeri. Memang, kalian pasti belum bisa membuat rencana yang rinci dan lengkap dengan segala kompleksitasnya, tetapi kalian cukup menempatkan diri dan potensi kalian kepada konteks permasalahan, lalu berikan yang terbaik. Itu sudah cukup. LPDP bisa, kok, melihat dan menghargai usaha seperti itu.

Misalnya, dengan contoh di atas, setelah kalian balik dari luar negeri membawa ilmu tentang manajemen RE, ceritakan saja bahwa kalian akan bergabung dengan LSM yang bergerak di bidang energi untuk rakyat dan bersama-sama mencari cara yang lebih baik untuk memberikan akses listrik bagi masyarakat. Itu saja sudah cukup bagi kami untuk bisa melihat bagaimana kelak Anda akan berkontribusi.

Intinya, LPDP tidak mencari sosok-sosok muda yang pintar saja. LPDP mencari insan muda yang pintar dan mampu menggunakan kepintarannya untuk membantu bangsa ini.

Satu hal lagi. LPDP juga perlu diyakinkan bahwa pelamar memang benar-benar tulus dan serius dalam menyiapkan kontribusinya. Urusan meyakinkan ini juga tidak mudah, karena memerlukan bukti, sementara kontribusi baru akan terjadi pada masa yang akan datang. Dalam kondisi seperti ini, yang bisa dinilai LDPD adalah adalah track record, konsistensi pola, dan gestur.

Sedikit soal gestur. Kalau kalian bilang ingin membangun sarana kelistrikan bagi masyarakat pedesaan, tapi tidak punya pengalaman dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, ya jelas sulit dipercaya. Kalau kalian bilang ingin menjadi dosen, tetapi saat wawancara kalian menunjukkan pola-pola komunikasi yang tertutup, ya sulit dipercaya juga. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan intonasi bicara kadang juga bisa menunjukkan ketulusan dan keseriusan seseorang.

Jadi sebenarnya, studi lanjut—apalagi yang dibiayai beasiswa—adalah sebuah kegiatan yang seharusnya dirancang sebagai bagian dari perjalanan hidup. Studi lanjut bukanlah kegiatan sambilan atau sesuatu yang bisa dilakukan mumpung ada kesempatan. Studi lanjut perlu disiapkan dan perlu didukung oleh pola-pola kegiatan sebelumnya yang konsisten. Studi lanjut juga perlu ditindaklanjuti dengan kontribusi nyata bagi bangsa.

Jangan sampai LPDP menganggap pelamar memandang beasiswa sebagai kesempatan untuk “unpaid leave” alias “jalan-jalan gratis”. Jika niatnya seperti iitu, percayalah, studi lanjutnya tidak akan berkah, karena beasiswa LPDP hakikatnya adalah amanah dari seluruh rakyat Indonesia.

***

JLEB!

Menusuk, bukaaan? Youthmanual, sih, ketampar banget, khususnya karena poin-poin berikut:

1. Anak-anak di kota-kota besar, termasuk Jakarta, have everything in the world—pilihan sekolah yang berkualitas, akses informasi yang memadai, dan fasilitas. Hasilnya, mereka tumbuh jadi anak-anak muda yang kritis, pintar, dan percaya diri. Tapi satu hal yang sering nggak mereka punya: kerendahan hati, alias sikap humble. Masalahnya, kerendahan hati ini nggak ada tempat lesnya, ya, gaes. Jadi untuk mengasahnya, murni tergantung dari diri kita sendiri.

2. Tanpa kerendahan hati, para pelamar beasiswa luar negeri sering bingung saat ditanya: setelah mereka kuliah di luar negeri, gimana cara bikin ilmu mereka berguna di Indonesia? Soalnya, tanpa rasa humble, seseorang nggak akan bisa berempati dan mengidentifikasi masalah di Indonesia dengan jernih.

Akibatnya, kata Pak Lukito, kebanyakan pelamar beasiswa cenderung membuat rencana-rencana muluk, yang nggak sesuai dengan realita kondisi Indonesia, sang negara dunia ketiga tercinta.

3. Kalau kamu pintar dan berpotensi, tapi nggak bisa menyalurkan potensi dengan konkret, sama aja bohong besar. Dan untuk membuat potensi jadi konkret, perlu kerendahan hati.

4. Menjadi “manusia yang lebih baik dan berguna” nggak harus dengan kuliah di luar negeri. Seringkali, para pelamar beasiswa paham itu, sih. Tapi diam-diam diumpetin dalam hati. Disangkal-sangkal. Demi kuliah ke luar negeri (gratis). Tapi seperti yang Pak Lukito bilang, LPDP ini duit rakyat, lho. Jadi mau sekedar jalan-jalan gratis pake duit rakyat? Ih, emangnya kamu anggota DPR…

Remember, kids, ngedapetin beasiswa bukanlah sebuah beauty contest, dan para penyaring pelamar beasiswa paham ini, lho. Seperti yang dikatakan Pak Lukito, mereka mencari pelamar yang memang benar-benar sayang sama Indonesia dan tulus banget ingin membantu bangsa.

Membantu bangsa, lho, bukan sekedar cari ilmu dan pengalaman buat diri sendiri. Jangan mikirin diri sendiri mulu, ah!

(sumber gambar: Nau.edu, Aims, Peta Pixel, Cerana, Hugh Hewitt, Hickory Wind Ranch, Youtube)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 18 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 28 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1