Seni Adalah (Muka) Aku: Potret Anak Muda yang Doyan Banget Motret (Diri Sendiri)

Gara-gara budaya oversharing di sosial media, kenarsisan manusia jadi nggak terbendung, ya. Saya lumayan hobi datang ke museum, galeri, dan pameran seni, di Jakarta, luar Jakarta, maupun luar Indonesia (tapi nggak di luar angkasa, ya).

Trus, sekian kali saya datang ke berbagai pameran seni lokal, isinya, ya, cuma dedek-dedek pepotoan semua. Entah selfie, foto berdua pacar, atau foto sendirian. Semuanya dengan pose-pose OOTD.

Dulu, para seniman—at least seniman teman-teman saya—tuh sebel banget sama ciki-ciki yang pepotoan bareng karya mereka begitu. Mungkin selain karena terganggu menyaksikan perilaku manusia yang sedemikian narsisnya, mereka juga sedih karena karya mereka jadi nggak dilirik, hihihi.

Maklum, bagi ciki-ciki, dunia ini cuma latar belakang foto, Kaaak… yang penting muka akoh, Kaaak… Menurut saya, menjadikan karya sebagai latar belakang foto masih “agak” mendingan.

Yang parah kalau sesi foto-fotonya sampai jadi menyenggol karya, lantas karyanya rusak. Ini sering terjadi, lho! Di depan mata saya sendiri, saya pernah menyaksikan segerombolan cewek-cewek dimarahi satpam Galeri Nasional, karena mereka foto-foto di depan lukisan besar, sampai lukisannya bergeser dan nyaris jatuh.

Satpam tersebut lalu curhat, minggu sebelumnya, ada pengunjung berfoto-foto sampai menyenggol karya patung seharga puluhan juta rupiah.

Namun belakangan ini, budaya foto-foto di pameran udah di-embrace sama para seniman. Bukan didukung, sih. Kayaknya lebih ke antara disindir atau memang senimannya pengen berdamai aja dengan masyarakat, dan merangkul para anak muda doyan foto. ‘Kan katanya, if you can’t beat them, join them.

Bentuk merangkul/menyindirnya macam-macam. Misalnya, di pameran ArtJog 2015 tahun ada, ada beberapa seniman yang mengangkat tema “selfie” dalam karya mereka. Contohnya, seniman senior Nasirun membuat sekian puluh kacamata hitam, yang boleh dipakai oleh para pengunjung sebagai properti selfie.

Banyak juga karya seni interaktif yang mendukung orang untuk berfoto bareng karyanya tersebut. Event pameran seni zaman sekarang juga lebih merangkul aktivitas foto-foto.

Jarang ada larangan untuk foto-foto dekat karya, kecuali untuk karya yang memang super banget. Mungkin karena seniman kepengen lebih dekat sama masyarakat itu, ya. Nggak pengen karya seninya dilihat sebagai sesuatu yang eksklusif.

***

Tapi oh tapi, SAYA TETAP NGGAK SETUJU! *gebrak meja* Sampai sekarang, kalau saya datang ke pameran seni, trus ngeliat pengunjung cekrak-cekrek foto-foto sepuasnya, tanpa peduli sedikitpun sama karya yang ada, saya tersinggung, lho. Kok nggak menghargai banget?

Contohnya, nih.

Tahun lalu, saya datang ke pameran seni kontemporer Jakarta Biennale 2015.

Trus, saking banyaknya pengunjung yang heboh foto-foto di sekeliling saya—seperti biasa—saya sampai nggak bisa konsen merhatiin karya, dan pada akhirnya saya cuma merhatiin dan motretin mereka.

Ada banyak banget fakta emeizing yang saya dapet, misalnya:

1. Masih meneruskan tren taun lalu, anak-anak zaman sekarang masih banyak banget yang nenteng kamera DSLR.

Pemakaian DSLR-nya gimana? Wallahualam. Mungkin digunakan dengan setting manual dan hasil jepretannya pun kece. Mungkin settingan-nya Auto semua dan si pengguna tinggal jepret, tapi hasil fotonya tetap blur semua. Huvttt.

foto jakarta biennalle pameran seni

foto jakarta biennalle pameran seni

foto jakarta biennalle pameran seni

2. Walaupun banyak anak muda yang foto-foto pake DSLR—bukan pake handphoneit is very obvious bahwa foto-foto mereka ditargetkan untuk masuk ke Instagram. Pose-posenya pun masih berkiblat kepada pose selebgram semua. Yak, teleng kanan! Sekarang teleng kiri! Jangan liat kamera! Yak, tawa-tawa ceria a la Andien! Yak, punggungin kamera, lalu kibaskan jaket!

3. Cuma cewek-cewek yang suka pepotoan? Iiih.. jangan salah. Cowok-cowok hare gene pun centilnya ‘kanmaen.

foto jakarta bienalle pameran seni

"Bray, udah belum, bray?"

4. Yang kasian, sih, kalau ada cowok yang nggak suka foto-foto, tapi datang bareng ceweknya yang gila foto. Habis, deh, do’i disuruh-suruh motoin pacarnya dalam berbagai gaya, angle, serta pencahayaan.

foto jakarta bienalle pameran seni

foto jakarta bienalle pameran seni

foto jakarta bienalle pameran seni

5. Banyak anak muda datang ke pameran ini khusus untuk foto OOTD. Tahu dari mana? Karena mereka bawa berbagai atribut (jaket, topi) yang nggak dipake, tapi lalu dipake sebagai aksesoris pas pepotoan doang. Eysss.

foto jakarta bienalle pameran seni

Trus, di setiap ajang pameran seni, pasti ada aja sepasang muda-mudi pacaran yang emang dua-duanya suka foto-foto, misalnya...

foto jakarta bienalle pameran seni

foto jakarta bienalle pameran seni

foto jakarta bienalle pameran seni

... tapi di kunjungan saya ini, award Pasangan Terniat Foto-Fotoan harus banget diberikan kepada...

... tapi di kunjungan saya ini, award Pasangan Terkonsisten Foto-Fotoan harus banget diberikan kepada...

Wow, pake tripod banget?

Di sisi lain, saya juga agak maklum, sih. Soalnya, pameran seni kontemporer kebanyakan susah banget dipahami! Mana bentuk karyanya seringkali abstrak dan kurang kece. Batok kepala saya sampai suka keringetan gara-gara berusaha keras mencerna—minimal, menikmati—karya-karya dalam sebuah pameran seni kontemporer. So, contemporary art exhibition IS heavy.

Sementara kebanyakan pengunjung Indonesia datang ke pameran seni dengan niat mau bersenang-senang aja. Wajar lah, ya! Trus, namanya juga mau senang-senang, pasti pada ogah banget disuruh mencerna. Emangnya lambung?!

Jadi lagi-lagi, saya agak maklum kalau pengunjung pameran seni di Indonesia malas berusaha memahami karya. Ujung-ujungnya, karya dibuat latar foto-foto doang. Art exhibitions becomes a giant photo studio.

“Ih, suka-suka dong, Kak! Mau foto-foto atau enggak, kek, ‘kan hak kita? Nggak melanggar aturan juga!” Mungkin begitu kata kamu.

Betul, dek. Cuma gini. Pameran seni di Indonesia ‘kan kebanyakan gratis. Menurut saya, alangkah sayangnya kalau kita bisa berkunjung ke sebuah ajang gratis, tapi kunjungannya nggak kita maksimalkan.

Foto-foto bareng karya boleh banget, tapi jadikan agenda main ke pameran ini untuk ningkatin kemampuan otak juga, lah. Bikin diri sendiri pinteran dikit, gitu. Minimal baca keterangan karyanya, deh, trus berusaha memahami, seniman ini bikin apa? Kenapa bentuk karyanya begini? Kira-kira senimannya ingin menyampaikan pesan apa?

Kalau ujung-ujungnya kamu nggak ngerti ju ga(atau nggak merasa tergugah dengan karyanya), ya nggak apa-apa juga, but shouldn’t we at least try?

catatan: semua foto di atas diambil oleh saya pribadi dengan kurang ajar, diam-diam, dan tanpa seizin. Peace!

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 18 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 28 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1