Memilih Senjata Melawan Terorisme: Bukan Senapan, Tapi Pendidikan

Malala Yousafzai pernah berkata: “With guns, you can kill terrorist. With education, you can kill terrorism”. Kalimat tersebut terngiang di kepala saya selama beberapa lama, dan kembali bergaung dalam beberapa hari belakangan.

Masih segar dalam ingatan ketika berita mengenai kerusuhan antara napi dan polisi terjadi di mako Brimob pada Rabu (9/5). Dari kerusuhan yang cukup serius itu, 5 orang polisi dan 1 orang napi harus keluar dalam kantung mayat. Usut punya usut, kerusuhan berasal dari segerombol napi yang terlibat dalam jaringan teroris ISIS.

Yup. That ISIS. Jaringan teroris Irak-Suriah yang kiprah kekejiannya telah tersebar di seluruh dunia.

Belum juga reda tegang akibat kerusuhan di Mako Brimob, kemarin berita duka kembali datang dari Jawa Timur. Pada pagi hari, 3 gereja di Surabaya dibom oleh oknum dari kelompok teroris yang sama. 13 orang meninggal, 43 luka-luka, semua pulang membawa trauma. Miris membaca beritanya, terlebih saat sebuah fakta terungkap bahwa salah satu pelakunya merupakan seorang ibu yang membawa serta kedua anaknya. Tidak berhenti di situ saja, dalam selang beberapa jam, aksi teror kembali terulang di Sidoarjo dan Polrestabes Surabaya. Pola yang sama, luka yang tidak jauh berbeda.

Kenapa Jadi Teroris?

Dulu, ketika kuliah, saya dibiasakan oleh dosen untuk selalu mencari dulu akar sebuah masalah sebelum melontarkan solusi untuk menyelesaikannya. Saya rasa kita pun harus begitu dalam menanggapi kasus-kasus terorisme yang seolah lagi subur-suburnya belakangan ini.

Kenapa seseorang bisa menjadi teroris?

Kita mungkin berpikir, para teroris tersebut adalah seorang psikopat by nature—seseorang yang nggak punya hati nurani sehingga mereka bisa membunuh puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mereka bukanlah manusia normal, mereka adalah sosok yang benar-benar berbeda dengan kita atau manusia lainnya.

Nyatanya, pandangan ini nggak sepenuhnya benar. Menurut kajian dari Scientific American, para teroris tersebut bisa saja merupakan orang biasa yang memiliki dorongan untuk berbuat kekerasan karena adanya dinamika kelompok tempat mereka berada, yang menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar selama dilakukan untuk alasan-alasan yang ‘mulia’.

Kalian pasti masih ingat ‘kan sebuah film berjudul Jihad Selfie yang bercerita tentang rekrutmen anggota ISIS via media sosial? Seorang pemuda terjerumus ke dalam lingkaran terorisme karena melihat foto seorang kawannya yang diunggah di media sosial. Di situ sang kawan tampak gagah dengan atribut bak prajurit dunia, plus senapan laras panjang di tangannya.

Pemuda yang bernama Teuku Akbar Maulana itu pun tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai gerakan terorisme dari temannya tersebut. Ia bercerita bahwa keinginannya masuk ISIS didasari oleh hasrat untuk menjadi bagian perubahan besar di dunia. Akbar tergugah dengan slogan ISIS yang mengkampanyekan Hidup Mulia atau Mati Syahid dan baginya hal tersebut adalah sesuatu yang keren dan patut untuk ditiru. “Saya lihat foto-foto beliau. Gagah sekali pegang tembak [senapan],” ujar Akbar.

Direktur Keamanan Negara Polri, Komisaris Besar Bapak Djoko Mulyono, dalam sebuah acara kontra radikalisme menyatakan bahwa para teroris merekrut anggota baru yang jauh dari keluarga dan punya banyak masalah dalam kehidupannya. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa biasanya gembong-gembong teroris suka mengadakan acara pengajian kecil dan tanya jawab mengenai masalah kaidah—tentu aja pengajian itu bernafaskan paham-paham radikalisme. Jika dalam acara tersebut ada seorang anak muda yang pertanyaannya mengarah ke tindakan Islam radikal, mereka bakal menandai anak tersebut untuk didekati dan didoktrin lebih jauh. 

Haslam, Raicher, dan Platow (2011) dalam The New Psychology of Leadership pernah menyoroti peran seorang pemimpin dalam membangun rasa kepemilikan dan tujuan bersama sebuah kelompok. Para pemimpin itu memberdayakan anggotanya dengan membentuk opini bersama atas suatu hal. Jika kita tarik ke dalam kasus terorisme ini, opini yang berusaha dibentuk adalah ide bahwa sebuah masyarakat madani hanya akan tercipta dengan menghancurkan orang-orang yang nggak sepaham dengan kelompok mereka.

Strategi ini dilakukan oleh ISIS dan Al-Qaeda. Sudah bukan rahasia lagi kalau sebagian besar kampanye mereka kepada pengikutnya berbentuk propaganda yang menyatakan bahwa aksi teror sudah sepatutnya dilakukan demi kehidupan yang lebih baik kedepannya. Meski begitu, penelitian dari seorang profesor ilmu sejarah di University of Arizona, Shahira Fahmy, yang melakukan sebuah analisis sistematis akan propaganda ISIS, menemukan bahwa hanya sekitar 5 persen propaganda yang menggambarkan jenis kekerasan brutal. Mayoritas agenda propagandanya justru merupakan visi atas sebuah ‘Negara Khilafah Ideal’ yang menyatukan seluruh umat muslim secara harmonis.

Kalau sudah begini, pertanyaan baru pun muncul? Mengapa mereka begitu mudahnya termakan ‘janji-janji’ manis akan negara khilafah dan surga yang menanti kalau pun mereka mati dalam memperjuangkannya?

Salah satu tahap yang dilakukan oleh jaringan teroris untuk merekrut anggota barunya adalah dengan melakukan isolasi. Mereka menjauhkan target dari lingkungan sosialnya—teman, orang tua, guru, pacar, you name it. Mereka kemudian perlahan mendoktrin target dengan paham-paham yang mereka percayai; bahwa orang dengan keyakinan berbeda adalah musuh, bahwa pemerintah selama ini berbohong, bahwa dunia yang kita tinggali sudah rusak dan butuh diperbaiki—dengan cara-cara ekstrim bila perlu. Perlahan, target pun menjauh dengan sendirinya. Ia akan menganggap bahwa orang-orang yang nggak sepaham dengan dia dan kelompoknya adalah musuh, bahkan ancaman. Nggak peduli mereka adalah teman, saudara, guru, atau bahkan orang tuanya.

Isolasi inilah yang membuat sang target menganggap semua doktrin yang ia terima dari kelompoknya adalah satu-satunya informasi yang benar. Perkembangan teknologi informasi bisa diibaratkan pedang bermata dua di sini; di satu sisi hal tersebut membantu kita untuk memperluas pengetahuan tentang keadaan dunia, tapi di sisi lain ini juga menjadi pintu masuk bagi berbagai paham radikal.

Nggak ada yang tahu apakah teman kita yang hobi duduk di pojok kelas sambil main handphone tengah mengakses buku elektronik tentang fisika kuantum atau video propaganda ISIS yang tersebar luas di forum-forum dunia maya. Nggak ada yang tahu kapan sahabat dan kerabat kita terjerat paham berbahaya ini.

Jadi, gaes, sudahkah kamu lebih peka terhadap sekelilingmu?

Memilih Senjata yang Tepat

Kembali lagi pada quotes yang sudah disebutkan di atas. With guns, you can kill terrorist; with education you can kill terrorism. Teroris memang bisa dilumpuhkan dengan todongan senjata, tapi paham terorisme nggak akan musnah hanya dengan satu peluru yang menembus jantung pelaku.

Tahu sendiri ‘kan, banyak anggota teroris yang direkrut sejak usia mereka masih sangat muda. Isolasi dan keterbatasan informasi membuat mereka menganggap bahwa apa yang mereka percayai adalah suatu hal yang absolut—meskipun itu salah. Membunuh adalah satu-satunya cara untuk mencapai kedamaian. Meledakkan bom di tempat ibadah agama lain adalah satu-satunya cara untuk mencapai surga. Mengancam keselamatan orang banyak itu harus dilakukan jika masyarakat ingin berubah ke arah yang lebih baik.

When in fact, it is wrong. Absolutely wrong.

Jangan kira usaha pencegahan terorisme hanya tanggung jawab polisi atau TNI. Pencegahan terorisme haruslah juga dilakukan dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Edukasi mengenai toleransi, empati, dan berpikir kritis menjadi krusial untuk meng-counter paham-paham radikal yang mulai bermunculan.

Kemendikbud kemarin mengeluarkan panduan bagi orang tua dan guru dalam membicarakan terorisme dengan anak dan murid. Beberapa poin yang bisa kita highlight dari panduan tersebut adalah:

  • Bicarakan masalah yang terjadi dengan membawa fakta-fakta yang telah terverifikasi. Jangan berikan ruang untuk isu, rumor, maupun hoax yang dapat menimbulkan kepanikan berlebih
  • Arahkan emosi dan rasa takut kepada sasaran yang tepat, which is pelaku kejahatannya, bukan pada golongan tertentu di mana sang pelaku mengidentifikasikan dirinya. Apalagi jika perasaan tersebut hanya didasari oleh prasangka belaka.
  • Jangan panik apalagi menyebarkan berita-berita hoax yang belum terverifikasi. Kepanikan dan ketakutan berlebih hanya akan membuat teroris merasa berhasil, karena apa yang mereka lakukan tujuannya memang untuk menyebarkan rasa takut di kalangan masyarakat.

Terorisme berawal dari ketidaktahuan dan minimnya informasi mengenai keberagaman. Orang-orang yang terjerat ke dalam jaringan tersebut sesungguhnya juga merupakan korban. Korban dari tindakan isolasi dan pencucian otak yang membuat mereka berpikir bahwa mereka dan golongannya adalah yang terbaik dan orang yang nggak sepaham dengan mereka, sudah sepatutnya dimusnahkan.

Sebelum bom dirakit, sebelum pelatuk ditarik, ada hal yang sudah lebih dulu mati; akal sehat dan hati nurani.

Jadi, senjata apa yang paling tepat dipilih? Pendidikan jawabannya. Nggak hanya di dalam pagar sekolah, tapi nilai-nilai toleransi, empati, dan keberagaman pun harus juga diterapkan di luar sekolah. Pancasila bukan sekedar pigura yang disandingkan dengan foto presiden dan wakil presiden di atas papan tulis di dalam ruang kelas. Sila pertamanya jangan sampai membuat kita lupa bahwa masih ada sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Saya percaya, Indonesia masih merupakan Indonesia yang satu, adil, dan beradab.

Sumber:

https://www.scientificamerican.com/article/fueling-terror-how-extremists-are-made/

https://www.scientificamerican.com/article/rescue-mission-freeing-young-recruits-from-the-grip-of-isis/

Baca juga:

(sumber gambar: The Jakarta Post)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 18 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 28 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1