Kisah Heroik “Pahlawan” Muda di Hutan Kalimantan, Bukti Bahwa Pemuda Indonesia Memang (Masih) Keren!

Asap, asap, asap. Kalut, kalut, kalut.

Sudah dua bulan lebih, “tema” negara kita adalah asap dan kalut. Nggak cuma hutan dan udara yang panas, masyarakat pun jadi panas. Para korban kelimpungan, masyarakat lain sibuk tuding-tudingan. Media sosial dan berbagai berita penuh dengan marah-marah, termasuk marah kepada pemerintah.

Ada yang mengancam Jokowi untuk segera lengser kalau asap nggak segera padam, malah ada yang mau memisahkan diri dari NKRI segala. Warbiyasak. Dikira segampang cari pacar baru, ya? Padahal jangan-jangan pacar lama aja nggak punya!

Yes, memang ada golongan masyarakat yang nyebelin, yang hobi marah-marah, menyalahkan, dan memprovokasi. Sayangnya, media lebih suka mem-blow up golongan masyarakat tersebut (mungkin supaya korannya lebih laku, ya?), dan kurang menyorot golongan masyarakat yang lebih keren, yaitu mereka yang nyata berusaha mengatasi bencana tanpa banyak bicara.

Padahal sebenarnya ada banyak pihak yang keren seperti itu, lho, seperti Prof. Wenten di Bandung dengan air-purifier-nya serta para relawan muda di Sekolah Relawan, Komunitas Jumpun Pambelom, Sedekah Oksigen, dan BantuKorbanAsap.org.

Malah seorang teman tim Youthmanual ada yang membuat gerakan Kirim 1000 Tanam Lidah Mertua. Tanaman lidah mertua, alias sanseviera, konon cukup efektif untuk menyerap toksin di udara. Jadi, lah, teman kami tersebut membuat gerakan mengirim 1,000 tanaman sanseviera ke titik-titik terparah, seperti Jambi dan Palangkaraya.

Entah efektif atau nggak, tapi usahanya top banget. Padahal dia nggak disokong partai mana-mana, lho (ehem). Juga nggak minta diliput.

***

Salah satu kelompok relawan yang inspiratif adalah Sekolah Relawan, yang diinisiasi oleh Gaw Bayu Gawtama.

Apa itu Sekolah Relawan? Tujuan dasar kelompok ini adalah mengedukasi orang-orang yang berminat jadi relawan, agar mereka punya wawasan dan skill yang memadai. Konon, sebenarnya banyak orang mau jadi relawan, tetapi skill-nya nggak memadai.

Beberapa hari lalu, seorang netizen bernama Sunardian Wirodono mem-post ke Facebook kisah anak-anak muda Sekolah Relawan yang membuat Gerakan Sejuta Sumur Bor di Kalimantan Tengan. Spontan, post tersebut langsung mendapat ratusan ribu likes, share, serta ratusan komen bernada mendukung.

Youthmanual pun ikut kagum, dan merasa perlu menyebarkan kisah ini.

Di post-nya, Sunardian bercerita tentang anak-anak muda Sekolah Relawan yang sibuk membuat sumur-sumur bor di kawasan hutan Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Mereka yakin, sumur bor di wilayah hutan sangat efektif dalam mencegah meluasnya kebakaran.

Gaw Bayu Gawtama dan para relawan

Nggak main-main, target mereka adalah membangun 100 titik sumur bor di kawasan hutan Kalimantan.

Jadi, untuk mulai membuat sumur bor, relawan harus menancapkan bermeter-meter pipa besi berukuran 1 inci dengan kedalaman sampai 30 meter. Penancapan ini baru akan dihentikan kalau pipa telah menembus lapisan pasir kasar, karena kalau sudah sampai situ, berarti pipa sudah sampai di lapisan tanah gambut yang banyak airnya.

Sampai hari ini (28/10), baru selesai 13 titik sumur. “Kalau lagi lancar, satu sumur bor selesai digarap dalam waktu dua jam. Tapi kita juga pernah musti ngebor sampai 10 jam. Ada yang sampai dua hari,” kata Gaw Bayu Gawtama yang sehari-harinya bekerja sebagai guru SMK di Bogor, kepada Sunardian Wirodono.

Tiap titik sumur bor perlu biaya sekitar Rp2,000,000. Untuk membuat 100 titik, berarti butuh dana Rp 200,000,000. Duit darimana? Murni sumbangan dan penggalangan dana.

Relawan-relawan sumur bor ini nggak punya modal, tenaga atau ilmu yang gimana-gimana banget. Kasarnya, mereka cuma “orang-orang biasa” yang kebetulan punya semangat luar biasa. Di antara mereka ada guru, mahasiswa, karyawan, pemilik toko, dan sebagainya.

Di antara mereka juga ada korban asap kebakaran, seperti kakak-beradik Hendra (17) dan adiknya Daniel (15), anggota termuda Sekolah Relawan yang katanya mempunyai pengetahuan soal gambut setaraf dengan mahasiswa S2 (wow!!!). Mereka sudah dua bulan bergabung dengan Sekolah Relawan, bekerja keras mengangkat selang, pipa, dan mesin sumur bor.

Daniel, sang anggota termuda namun dengan pengetahuan terluas

Ada juga Yanto (20), seorang pemuda Dayak yang drop-out sekolah sejak SMP karena kekurangan biaya. Namun di tengah bencana asap ini, ia menjadi penerjemah bahasa Dayak bagi para relawan yang datang dari berbagai penjuru Indonesia.

Selain itu, ada orang-orang yang nggak kelihatan di lapangan, tetapi sebenarnya habis-habisan mendukung tim relawan. Contohnya, Roel Mustafa, seorang pengusaha keturunan Betawi yang tinggal di Depok. Ia menyumbangkan segenap waktu, tenaga, koneksi, dan dana pribadinya kepada tim relawan, misalnya dengan mengantar mereka berbelanja perlengkapan pemadaman serta berbagai kebutuhan tim di lapangan. Menurut Sunardian, Roel juga sibuk mendorong-dorong teman-temannya untuk ikut membantu.

Ada juga Eko Subiyantoro, seorang forest ranger di Banjarbaru yang baru mengalami kecelakaan, sehingga nggak bisa turun ke lapangan. Tapi hebatnya, ia tetap aktif menyambungkan tim lapangan dengan pihak-pihak di Kalimantan Tengah. Rumahnya juga ia jadikan tempat transit para relawan sekaligus tempat penyimpanan barang tim Sekolah Relawan dan Sedekah Oksigen.

Belum lagi Hunggul Prihono, mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin yang juga mantan guru SLB. Sudah hampir sebulan ia berkubang di lumpur hutan Kalimantan, ikut membuat sumur bor, bahkan sampai jam 2 pagi!

Hunggul Prihono

Nggak hanya itu, Hunggul—yang bergabung jadi relawan setelah membaca aktivitas Sekolah Relawan di medsos—juga memanfaatkan skill-nya “bermain” drone untuk keperluan pemetaan hutan.

Ada berapa banyak, sih, anak muda yang memanfaatkan drone dan media sosial untuk membantu kebakaran asap langsung di lapangan, instead of buat main-main atau marah-marah aja? *tepuk tangan*

Youthmanual setuju dengan sumber cerita ini, Sunardian Wirodono, bahwa Sekolah Relawan memang istimewa, tapi pasti bukan satu-satunya. Cerita semacam ini pasti ADA di Riau, Palembang, Pontianak, Papua dan berbagai titik bencana lainnya. Kenapa kita nggak tahu? Karena media, nggak tau kenapa, jarang menuliskannya.

Padahal di tengah kepesimisan masyarakat terhadap generasi muda, cerita-cerita begini perlu banget disebar agar kita tau bahwa yes, Indonesian youth are (still) awesome.

Baca postingan Sunardian Wirodono di sini dan di sini

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 13 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 23 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 2 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1