Apa, Sih, Kekuatan Diri Kamu?

Saya lagi baca buku autobigrafinya Amy Poehler—salah satu aktris dan comedian beken jebolan Saturday Night Live—berjudul Yes Please. Belum selesai, sih, tapi saya udah menemukan satu bagian yang saya suka.

Di bagian tersebut, Amy menulis tentang sepenggal kisah cintanya saat dia masih muda. Amy cerita bahwa seumur idup, dia merasa nggak cantik, biasa-biasa aja, dan mantan-mantan pacarnya juga biasa-biasa aja. Tapi sekali waktu, Amy sempat pacaran sama cowok ganteng yang bahkan berprofesi sebagai model. Kepribadiannya, sih, nggak fantastis tapi oke, lah. Standar.

Pada suatu hari, Amy iseng ngoprek jurnal sang pacar, dan dia menemukan tulisan yang menyatakan bahwa si cowok menganggap Amy itu kind of cool karena Amy lucu meskipun nggak cantik, dan si cowok sebenernya nggak naksir-naksir amat sama Amy.

Amy sok santai, tapi akhirnya nangis sedih juga.

Saya terjemahkan kutipan dari bukunya, ya.

“… tapi pada akhirnya saya baik-baik aja, sih. Dan kamu juga akan baik-baik aja. Soalnya begini. Saya sudah memutuskan sejak awal bahwa saya akan menjadi cewek yang biasa-biasa aja—nggak cantik—tapi punya kepribadian yang kuat. Menerima hal ini membuat segalanya jadi lebih mudah. Kalau kamu beruntung, akan ada kesempatan dalam hidup kamu dimana kamu bisa menentukan currency kamu. Dari awal banget, saya sudah menentukan bahwa currency saya bukanlah wajah saya…

Tentukan apa currency kamu sedari awal. Lepaskan hal-hal yang nggak akan pernah kamu miliki. Orang-orang yang bisa melakukan ini akan lebih hepi dan seksi.”

Currency di sini maksudnya bukan mata uang, ya, melainkan “fungsi” alias kekuatan diri kita.

Membaca ini, saya merasa, “Yaaas, gue merasa begini banget, nih!”

Contoh konkret yang saya alami sendiri adalah menulis vs menari.

***

Saya suka banget menulis (ya iyalah, yaaa… makanya jadi penulis!). Saya juga suka sekali menari. Dan sebenarnya saya menekuni seni tulis dan seni tari secara bersamaan, dalam jangka waktu yang sama, dengan ketekunan serta passion yang sama juga.

Tetapi kemampuan menari saya nggak bergerak kemana-mana. Nggak berkembang. Stuck di situ-situ aja. Sebaliknya, karir menulis saya justru terus menanjak.

Saya bukan penulis hebat, namun saya merasa menulis adalah sebuah kemampuan yang effortless buat saya. Bagi saya, menulis terasa alami, sealami kecantikan Raisa. Saya juga nggak pernah ikut pelatihan menulis anu-itu, but I think I’ve managed well so far. Saya belum berani bilang bahwa saya “berbakat menulis”, sih, tapi seenggaknya, saya yakin menulis adalah “bawaan orok” saya.

Selain itu, menulis sering membuka jendela kesempatan—memberikan saya proyek seru, membawa saya ke banyak tempat baru, mempertemukan saya dengan orang-orang hebat, dan sebagainya.

Sementara nari? Ya, Tuhan.

You see, I like the art of dance a lot. Saya suka nontoninnya dan mempelajarinya. Saya ikut kelas nari udah bertahun-tahun, lho! Tapi kebalikan dari menulis yang effortless, menari adalah sesuatu yang saya jalani dengan penuh effort namun dengan hasil yang gini-gini aje.

Untuk sekedar bisa bersaing dengan teman-teman di kelas nari aja, nih—yang umurnya bisa belasan tahun di bawah saya—saya seringkali harus latihan keras sendiri di rumah. Mulai dari loncat-loncat kayak orang gila di garasi mobil, nangis-nangis belajar split (trus nggak bisa-bisa juga), sampai beberapa kali mengorbankan wiken karena saya memutuskan untuk mengunci diri di kamar dan latihan seharian aja.

Tapi hasilnya tetap gini-gini aja. Skill saya nggak pernah berkembang secara signifikan. Kritik yang dilontarkan para guru nari ke saya pun nggak pernah berubah, masih seputar isu yang sama.
Apalagi penari muda berbakat jumlahnya selalu bertambah setiap hari, sementara sayanya semakin tua dan renta. The competition, even only in class, is tough.

Berbeda dengan menulis, kemampuan menari saya nggak berkembang sama sekali.

Alhasil, saya jadi sering mempertanyakan jargon-jargon motivasional klise seperti, “you can do it” atau “you can be anything you want to be” atau “nothing is impossible”. Manaaa? Mana nothing is impossible?! Saya udah passionate, udah berusaha banget, dan punya target yang realistis yaitu menjadi penari yang lebih baik, at least to be the best in class. Saya nggak punya target yang muluk-muluk, kok. Tapi, udah bertaun-taun, kok susah amat mencapai target ini?

Jadi ketika membaca tulisan Amy Poehler tadi, saya merasa tercerahkan.

Saya menyimpulkan bahwa kita NGGAK BISA mejadi apapun yang kita inginkan. Beberapa hal MEMANG mustahil diraih, even after we’ve worked hard on it…

…tapi ya nggak apa-apa! Dunia ‘kan nggak selebar daun kelor. Ada banyak minat dan kesempatan lain yang bisa digali.

Dulu ketidakmajuan saya dalam bidang tari membuat saya merasa dicurangi, karena saya udah berusaha banget, but why do I never feel good about my dancing? Untungnya sekarang saya merasa santai. Saya nggak akan ditakdirkan menjadi penari hebat, and that’s fine. Saya akan terus menari sebagai hobi, sambil terus berusaha mengembangkan bakat-bakat saya yang lain, seperti stalking mantan tanpa ketahuan atau kreatif dalam membuat meme bego-begoan… banyak, lah! :D

***

Saya sempat membaca sebuah artikel yang mengkritik iklan-iklan produk kecantikan.

Jadi iklan-iklan produk kecantikan ‘kan sering bikin kampanye atau slogan bernada, “You are beautiful,” trus berusaha keras “menghibur” kaum perempuan dengan ‘meredefinisikan’ cantik. Bahwa gendut itu cantik, bahwa pendek itu cantik, bahwa berkulit gelap itu cantik, bahwa tua itu cantik, pokoknya kamu cantik, cantik, cantik!

Dalam artikel ini, penulisnya bilang, “Kenapa, sih, gue dipaksa merasa cantik? Padahal gue udah terima, kok, bahwa gue nggak cantik. Menjadi cantik bukanlah fokus hidup gue!”

Saya suka dengan penulis artikel ini, karena dia sadar bahwa dia nggak cantik, tetapi dia asik-asik aja dengan fakta ini. Seperti, Amy Poehler, she already knows her currency, which is not her looks.

Ternyata skill membaca diri, tuh, penting juga, ya? Membaca diri, tuh, maksudnya memetakan apa aja kekuatan dan kelemahan diri kita. Hal ini kayaknya obvious, tapi percaya atau nggak, nggak semua orang mampu melakukan hal ini. Masih banyak orang yang halu, kepedean, atau malah minderan sehingga nggak paham currency-nya sama sekali.

Mengulang tulisan Amy Poehler,

Currency atau kekuatan diri saya sudah pasti bukan skill menari, dan saya sudah menerima ini dengan ikhlas. Amin.

(sumber gambar: A Cup of Tay)

POPULAR ARTICLE
LATEST COMMENT
syakila putri | 18 hari yang lalu

terimakasih atas informasinya. kunjungi website kami untuk informasi lebih lanjut https://unair.ac.id/

Bedah Peluang, Daya Tampung, serta Biaya Kuliah Jurusan Kedokteran dan Kedokteran Gigi Terbaik di Perguruan Tinggi Negeri
Muhamad Rifki Taufik | 29 hari yang lalu

4 Langkah menulis naskah film yang sangat bagus untuk mengembangkan skill penulisan saya. Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat.

4 Langkah Menulis Naskah Film yang Baik Bagi Pemula
Al havis Fadilla rizal | 2 bulan yang lalu

Open pp/endorse @alfadrii.malik followers 6k minat dm aja bayar seikhlasnya geratis juga gpp

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 11,6 followers dm ya bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Deca Caa | 3 bulan yang lalu

open pp/endorse @aaalysaaaa 1,6 followers dm ya, bayar seiklasnyaa

Tarif Endorse di Media Sosial Berapa, Sih?
Dibuat dan dikembangkan di Jakarta, Indonesia Hak Cipta Dilindungi 2015 - 2024 PT Manual Muda Indonesia ©
Rencanamu App

Platform Persiapan Kuliah & Karir No 1